Jumat, 27 September 2019

Melupakannya?

    Kelopak mataku berkedip berusaha melawan cahaya yang datang menyerang dari balik jendelaku yang terbuka lebar bersama angin yang menerpa lembut wajahku. Kedua mataku menatap kearah jendela disaat cahaya itu berangsur redup. Mendung. Apa hari ini akan turun hujan? jangan. Kumohon. Jangan dihari yang sangat spesial ini. Tanganku membuka selimut yang menutupi tubuh kurusku, berusaha bangun dari tempat yang paling nyaman. Kembali merapikan selimut hangat itu dan mencari benda persegi panjang milikku diatas meja kecil yang terletak disamping tempat tidurku. 30 Desember. Gigi-gigi putihku akhirnya tampil dengan rapi disaat tanggal itu terangkai dilayar ponselku. ‘Nenek pelupa!’ kata-kata itu terlintas dikepalaku, membuatku terkekeh geli. Kuletakan kembali ponselku ditempat awal. “Aku tidak akan lupa lagi Tuan Kim.” ucapku bersamaan dengan jari telunjukku yang mengetuk wajah tampan pada bingkai foto yang terletak diatas meja. Bodoh. Sekarang aku terkekeh mengingat masa lalu itu.

    Jam dindingku menunjukan pukul 7. Hari ini aku libur bekerja, tentu saja karena aku tidak ingin melewatkan hari ini begitu saja. Ah, aku harus melupakan tentang kesibukan dunia kerjaku untuk hari ini dan merayakan ulangtahun kekasih anehku itu. “Kau tidak akan bisa mengatakan aku Nenek pelupa lagi Tae, karena aku sudah menyiapkan segalanya untuk hari ini”. Dress putih yang hanya kupakai disaat acara penting itulah yang kupilih. Walaupun ia lebih suka aku berpakaian ala gadis tomboy, tapi aku lebih memilih yang sedikit feminim hari ini. Sekarang yang harus kulalukan hanyalah mandi dan menyiapkan diri untuk bertemu dengannya.

    Dress putih selutut sebagai pilihanku tadi sudah melekat dengan nyaman ditubuhku. Lengannya terlalu pendek. Dia akan marah jika aku memperlihatkannya. Jaket kulit berwarna biru yang kugantung dengan rapi didekat jendela menjadi tujuan langkahku. Jaket Taehyung yang lupa ia bawa dan tidak pernah kukembalikan. Aku bisa merasakan aroma dan kehangatannya saat mengenakan jaket tebal ini. Kutatap pantulan diriku dicermin, sangat aneh. Pasti. Perpaduan antara jaket kulit ukuran pria dengan dress putih. Aneh, tapi aku lebih suka membuatnya tertawa dengan keanehanku saat ini. Kuraih ponselku dan mengetik pesan singkat untuknya. ‘Aku menunggumu ditempat biasa Tae’  aku tersenyum setelah melihat pesanku terkirim dan telah sampai pada ponselnya. Kulangkahkan kakiku keluar dari rumah yang kutinggali sendiri dan kotak persegi beraroma manis ini akan menemaniku sepanjang perjalanan.

    Taman. Aku sudah sampai ditempat biasa kami bertemu. Kurapikan dress-ku setelah duduk dengan nyaman disalah satu bangku panjang sisi kiri taman dan meletakan kotak kue disampingku. Dari sini aku bisa melihat anak-anak kecil bermain bersama, berlari dan tertawa lepas, mereka terlihat sangat bahagia. Anak-anak imut itu mulai meninggalkan taman, aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada disini. Aku tidak memakai jam tangan karena bagiku itu merepotkan dan aku meninggalkan ponselku dikamar setelah mengiriminya pesan. Ah, dimana dia? Apakah ia sangat sibuk? apakah sekarang sudah sore?. Langit mendung menutupi sang surya sejak tadi, hingga aku tidak tahu dimana letak matahari sekarang. Sedikit demi sedikit tetesan air turun tanpa perintah membasahi seluruh bagian taman entah sampai kemana. Aku masih setia tidak bergeming sedikitpun dari bangku ini. Aku tidak akan meninggalkan taman ini sedetikpun, takut disaat ia sampai aku tidak berada disini. Dan ia akan kecewa seperti tahun lalu. Ah! Kuenya! Kuraih kotak disampingku yang sudah setengah basah. Kubuka jaketku dan kugunakan untuk menyelimuti kotak kue yang entah bagaimana isi didalamnya sekarang. ‘Tae, kau pasti datangkan? Apa sekarang kau yang lupa dengan hari ulang tahunmu? Aku akan memanggilmu Kakek pelupa saat kau datang nanti.’ Batinku. Sekilas aku tersenyum. Aku menutup rapat mataku, berusaha menikmati tetesan air hujan yang terasa tajam dikulit hingga membuatku menggigil.

    Perlahan mataku terbuka setelah tetesan-tetesan air itu berhenti menyiksa kulitku lagi. Aku mengangkat kepalaku keatas. Payung biru. Payung yang pernah kubelikan untuk Taehyung dulu. Senyumku mengembang. Segera kualihkan pandanganku kewajah laki-laki yang berdiri disampingku. “Tae—“ “Bisakah kau berhenti?” kalimat itu memotong panggilanku. Kalimat yang keluar dari bibir milik laki-laki berambut brown yang sudah basah itu. Seketika senyumku memudar. Bukan. Itu bukan dia. “Berhentilah..” ia kembali melanjutkan kata-katanya. “Kenapa kau tidak bisa berhenti? untuk kesekian kalinya kau seperti ini. Disetiap bulan dan tanggal yang sama.” ia mendesah dan mulai duduk disampingku. “ Berhentilah mengiriminya pesan. Pesanmu tidak akan pernah ia baca!” ia sedikit berteriak kepadaku disela-sela hujan yang membasahinya. “Pergilah!” aku berteriak kearahnya dan memberinya tatapan tajam. Jimin, yang kukenal sebagai saudara tiri kekasihku itu terkejut. “Dengarkan aku kali ini,” ucapnya melembut, ia menggenggam tanganku dengan tangan kanannya yang sama dinginnya dengan tanganku. Aku berusaha melepaskannya tapi genggamannya bertambah erat.

    “Taehyung, dia sudah tiada—“ “Berhenti” aku menyela perkataannya. “Ia sudah pergi 2 tahun yang lalu” “Berhenti! Kumohon” aku mulai terisak. Aku membenci kata-kata itu, kalimat yang membuatku mengingat bahwa ia sudah meninggalkanku bersama senyuman bodohnya. Penyakit sialan yang menyerang dan menyiksanya secara tiba-tiba itu memaksanya meninggalkanku. Membuat batinku lebih tersiksa oleh kenangan bersamanya yang sudah terjalin sejak kami kecil. Tangisanku pecah bersamaan dengan sebuah pelukan yang berusaha menenangkanku. Air hujan masih setia mengguyurku. “Kumohon berhentilah menyiksa dirimu sendiri, aku akan menggantikannya untukmu.” ucapnya yang masih memberiku dekapannya. Dan untuk kesekian kalinya aku mendengar kalimat itu dari orang yang sama. Jimin. “Aku selalu berusaha untuk membuat namaku menggantikan namanya dihatimu, tapi itu sia-sia jika kau tidak berusaha melupakannya.” lanjutnya, membuatku terdiam sama sekali tidak bisa membantah kenyataan itu. Dia melepaskan pelukannya dariku, menatap dalam mataku. “Ia mengiginkan senyumanmu, bukan tangisan.” Ucapnya dengan lembut. Menangkup pipiku, memaksaku tersenyum. “Jika kau seperti ini, aku yakin wajah bodohnya itu akan bersedih disana.” Lanjutnya mengusap rambutku yang sudah sangat basah. Aku masih terdiam. “Mari kita lupakan ia bersama.” Jimin menggenggam kedua tanganku dan memberiku senyuman hangat miliknya. Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya. Aku tidak bisa mengangguk apalagi berkata iya. Hanya wajahnya, senyuman khasnya, sikap konyolnya, namanya dan segala tentangnya yang ada dihatiku. Melupakannya? Itu hal yang mustahil untuk ku lakukan.